Sabtu, 20 Februari 2010

Ciri Arsitektur Budaya Arab

Masjid Nabawi di Madinah awalnya hanya sebuah masjid sederhana yang dibangun dengan material tanah liat; bertiang pohon kurma dan beratap pelepah pohon kurma. Itu pun lantaran di lahan hadiah beberapa penduduk anshar itu terdapat banyak pohon kurma yang sudah tua. Pondasi masjid hanya berupa cetakan tanah liat yang ditumpuk-tumpuk. Nabi sendirilah yang memimpin pembangunan masjid itu sekitar tahun 622 masehi silam.
Tata letak bangunan masjid memang sengaja dibuat mirip seperti tata bangunan rumah Nabi di Makkah, yang digunakan sebagai basis dakwah perjuangannya. Rumah Nabi di Mekkah itu berdiri di atas tanah seluas 2.500 meter firkan (persegi) yang dikelilingi oleh dinding-dinding tembok dengan bahan baku tanah liat. Sebagaimana kebiasaan bangsawan-bangsawan Arab pada masa itu, Nabi pun membuat sebuah pelataran besar di dalam lingkungan rumahnya. Pelataran itulah yang sering digunakan untuk menggelar syuro-syuro (rapat-rapat) bersama para sahabat seperjuangan.
Ketika Nabi hijrah ke Madinah bentuk seperti itu pun dijadikan sebagai pola masjid di sana. Pola itu biasanya disebut pola hypostyle. Pada sisi selatan pelataran dibuatkan portico atau serambi beratap, yang ditopang oleh tiga deret tiang dari batang pohon palm. Di sanalah Nabi sering berdiskusi membicarakan masalah-masalah keagamaan dan kenegaraan serta memimpin shalat berjamaah dengan para sahabat. Dahulu, pada sisi itu pula terdapat sebuah mimbar kayu sebagai tempat bagi nabi untuk berkhutbah. Menurut berbagai riwayat, itulah mimbar pertama yang digunakan Nabi. Malahan, mimbar itu disebut-sebut sebagai poin sentral dari Masjid Nabawi, pada masa-masa awal.
Menurut catatan para arkeolog arsitektural, masjid yang dibangun pada zaman Nabi punya beberapa karakterisrik, yakni: memiliki shahn (pelataran gedung terbuka yang dikelilingi tembok) dan portico yang sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Arab Semit, seperti yang terdapat pada sebuih kuil kuno peninggalan abad ke-2 SM. Sebagai catatan, kuil itu juga memiliki sebuah aula peribadatan berbentuk persegi panjang dengan serambi portico dan bertiang banyak.
Boleh dibilang, struktur arsitektur asli Arab (arabesque) yang digunakan Nabi dalam masjidnya itu ternyata kemudian menjadi bentuk dan struktur masjid yang disukai di dunia muslim dari masa ke masa, khususnya di kawasan Maghribi, Afrika Tengah dan Masyriqi. Elemen shahn tadi, bahkan, kemudian menjadi salah satu ciri elemen arsitektural yang cukup menonjol dalam struktur arsitektur domestik, baik bangunan-bangunan berdimensi mewah maupun sederhana dalam sejarah arsitektur dunia Islam.
Kemudian, pada masa Dinasti Umayyah berkuasa, Khalifah al-Walid memerintahkan para arsitek dan insinyur Arab melakukan perluasan dan restorasi fisik bangunan Masjid Nabi, istilah lain dari Masjid Nabawi. Walaupun pembangunan ini berskala besar, tapi khalifah tetap menghendaki agar struktur asli masjid tidak diubah: memiliki lapangan terbuka ber-portiko lengkap dengan mihrabnya.
Meski bentuk dasar aslinya dipertahankan, namun mihrab pada dinding bagian selatan (arah kiblat) akhirnya dimodifikasi melalui sentuhan kreasi tangan-tangan seniman ukir pada masa itu. Selain itu, para insinyur pelaksananya juga membangun minaret yang berfungsi sebagai tempat muazin melantunkan azan. Minaret, saat itu, dianggap sebagai unsur baru dalam arsitektur masjid.
Sepertinya, dalam melakukan modifikasi dan restorasi Masjid Nabawi, Khalifah al-Walid menggabungkan struktur arabesque dengan gaya bangunan peribadatan Byzantium. Selain itu, khalifah juga menggabungkan kamar-kamar ummahat al-mu’minin (para wanita-wanita bangsawan, baca: kepuntren, dalam konteks Jawa) sebagai bagian dari kompleks masjid. Semasa Khalifah Walid bin Abdul Malik juga dilakukan penambahan lahan seluas 2.369 meter firkan (meter persegi).
Kini, Masjid Nabawi memiliki 10 minaret (menara): masing-masing setinggi 105 meter ditambah ornamen tiang bulan sabit. Tinggi lantai dasar 12,55 m dan ruang bawah tanah setinggi 4 meter. Jumlah tiang masjid selama perluasan 2.104 tiang berdiameter 64 cm dengan jarak antartiang antara 6 meter sampai 18 meter yang membentuk serambi dan pelataran. H
ebatnya, masjid ini memiliki 27 kubah berteknologi tinggi, yang dapat dibuka secara elektrik untuk pengaturan kondisi udara alami dalam masjid. Seluruh kubah itu menaungi 18 x 18 meter firkan yang membentuk pelataran terbuka dalam masjid (tipe hipostyle). Tinggi kubah itu dari lantai atap mencapai 3,5 meter. Sedangkan dari lantai dasar 16,56 meter berdiameter 2,3 meter dan jari-jari tinggi 4 meter.
Sementara itu, pada makam Rasulullah terdapat gambar-gambar dekoratif bermotif bandul, lampu, masjid dan menara. Sambungan dekorasi ukiran kayu, marmer dan logam pada jendela, pintu, tiang, dikerjakan dengan sangat teliti dengan tingkat presisi yang sangat tinggi.
Masjid Nabawi telah mengalami banyak perluasan dan pembangunan oleh banyak penguasa. Namun, bentuk dasarnya tetap tak berubah: struktur hypostyle sebagai struktur arabesque. Struktur inilah yang dipakai masjid-masjid terkenal lain di dunia. (dari berbagai sumber).

2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Kebetulan sy senang artikel arsitektur islam soalnya sy itu jg bekerja dibidang seni arsitektur islam buatan tangan langsung. Jg sering bikin kaligrafi dimasjid masjid. Sekedar saran kasih donk artikelnya banyj gambar supaya jd pendukung artikel spy enak di bacanya jg dan pengunjung seneng liat gambar arsitektur masjid atw istana yg bagus BagusBagus
    Kunjungi jg http://kaligrafer.com/

    BalasHapus

.